Di antara kesalahan besar yang banyak terjadi dalam rumah tangga adalah ketika seorang suami tidak bersungguh-sungguh menjaga harmoni antara istrinya dan kedua orang tuanya.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd menyebutkan dalam kitab من أخطاء الأزواج (Min Akhtha’i al-Azwāj) bahwa salah satu kesalahan penting para suami adalah:
قلة الحرص على التوفيق بين الزوجة والوالدين
“Kurang bersungguh-sungguh dalam men-tawfiq (mendamaikan dan menyeimbangkan) antara istri dan kedua orang tua.”
Padahal, seorang suami memiliki dua amanah besar sekaligus: berbakti kepada orang tua dan berbuat baik kepada istri.
1. Pondasi Syariat: Berbakti kepada Orang Tua dan Berbuat Baik kepada Istri
1.1. Birrul Walidain: Hak Besar yang Tak Gugur dengan Pernikahan
Allah Ta’ala berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا (الإسراء: ٢٣)
“Tuhanmu telah memutuskan agar kalian tidak menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Al-isra:23)
Ayat ini menjadi dalil pokok bahwa setelah menikah, kewajiban berbakti kepada orang tua tetap melekat. Syaikh al-Hamd menegaskan, meninggalkan orang tua setelah menikah, apalagi menelantarkan mereka, adalah salah satu bentuk ‘uqūq (durhaka) yang halus namun berbahaya.
1.2. Berbuat Baik kepada Istri: Amanah Besar di Pundak Suami
Tentang perlakuan kepada istri, Allah Ta’ala memerintahkan:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (النساء: ١٩)
“Bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-nisaa: 19)
Artinya: istri juga memiliki hak yang besar di sisi Allah, berupa nafkah, perlindungan, rasa aman, dan pembelaan dari suami ketika ia dizalimi, termasuk jika yang menzalimi adalah orang tua suami sendiri.
2. Bentuk Kesalahan: Suami Tidak Menjaga Harmoni antara Istri dan Orang Tua
Merujuk penjelasan Syaikh al-Hamd dalam bagian “بين الزوجة والوالدين”, beberapa bentuk kesalahan suami antara istri dan orang tuanya antara lain:
-
Selalu membiarkan konflik tanpa upaya serius mendamaikan.
Suami hanya diam ketika terjadi gesekan antara istri dan orang tuanya, seolah itu urusan mereka sendiri, padahal ia adalah poros hubungan keduanya. -
Selalu memihak orang tua meski jelas berbuat zalim.
Misalnya orang tua berprasangka buruk, membesar-besarkan kesalahan kecil, atau menekan istri agar meninggalkan haknya, dan suami hanya ikut mengamini tanpa tabayyun. -
Selalu memihak istri hingga menelantarkan birrul walidain.
Ada suami yang setelah menikah jarang pulang, menunda-nunda memenuhi kebutuhan orang tua, bahkan melarang istri berbuat baik kepada mertua. -
Membiarkan isu dan hasutan memecah belah.
Syaikh al-Hamd mengingatkan bahwa sebagian orang tua “يوغرون صدره” – mengobarkan kebencian di hati sang suami terhadap istrinya, seolah istri menguasainya padahal ia hanya menunaikan haknya. -
Menjadikan “ancaman cerai” sebagai senjata ketika orang tua tidak suka pada istri tanpa sebab syar’i yang jelas, padahal cerai adalah perkara halal yang paling dibenci Allah.
Semua ini mengarah pada satu kesalahan besar: suami gagal menjalankan peran sebagai penengah yang adil.
3. Makna Kesalahan: Gagal Menjaga Harmoni antara Istri dan Orang Tua
Dalam pembahasan “بين الزوجة والوالدين” (antara istri dan orang tua), Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd menjelaskan bahwa banyak problem keluarga muncul karena hilangnya keseimbangan dalam menyikapi hak orang tua dan hak istri.
Syaikh menulis (tentang prinsip umum syariat ketika terjadi tarik-menarik di dalam keluarga):
ومن عظمة الشريعة أنها جاءت بأحكام توازن بين عوامل متعددة، ودوافع مختلفة، والعاقل الحازم يستطيع بعد توفيق الله أن يعطي كل ذي حق حقه.
“Di antara agungnya syariat adalah: ia datang dengan hukum-hukum yang menyeimbangkan berbagai faktor dan dorongan yang berbeda. Orang yang berakal dan tegas, dengan taufik Allah, mampu memberikan setiap pihak haknya.”
Artinya, suami yang benar bukanlah yang memihak satu pihak dan menzhalimi pihak lain, tetapi:
- tetap berbakti dan lembut kepada orang tua,
- sambil adil dan lembut kepada istri,
- serta aktif mencari jalan damai ketika muncul masalah.
4. Menimbang Hak: Orang Tua di Atas Istri, Tapi Tanpa Zalim
4.1. Hadits tentang Konflik Istri dan Orang Tua: Kisah Ibn ‘Umar
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā:
كَانَتْ تَحْتِي امْرَأَةٌ، وَكُنْتُ أُحِبُّهَا، وَكَانَ عُمَرُ يَكْرَهُهَا، فَقَالَ لِي: طَلِّقْهَا، فَأَبَيْتُ، فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ ﷺ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، طَلِّقْهَا
“Aku memiliki seorang istri, aku mencintainya, sedangkan ‘Umar tidak menyukainya. Ia berkata kepadaku: ‘Ceraikan dia!’ namun aku enggan. Lalu ‘Umar mendatangi Nabi ﷺ dan menyampaikan hal itu kepadanya. Maka Nabi ﷺ bersabda: ‘Wahai ‘Abdullah, ceraikan dia.’” (Abu Dawud no. 5138 dan at-Tirmidzi)
Para ulama menjelaskan, perintah Nabi ﷺ kepada Ibn ‘Umar untuk menceraikan istrinya bukan dalil mutlak bahwa setiap perintah orang tua menceraikan istri harus ditaati. Syaikh al-Hamd menerangkan bahwa:
-
- Yang meminta cerai adalah ‘Umar bin al-Khaththab, seorang sahabat agung, sangat takut kepada Allah, sehingga asumsinya permintaan itu demi maslahat agama, bukan sekadar selera pribadi.
- Tidak semua orang tua selevel iman dan wara’nya ‘Umar; boleh jadi keinginan cerai muncul karena cemburu duniawi, iri, atau sebab lain yang tidak syar’i.
Maka, suami tidak boleh secara otomatis tunduk pada perintah orang tua untuk menceraikan istri jika alasannya hanya duniawi dan zalim.
4.2. Hak Siapa yang Lebih Besar?
Ada hadits dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā:
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ: أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الْمَرْأَةِ؟ قَالَ: زَوْجُهَا. قُلْتُ: فَأَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الرَّجُلِ؟ قَالَ: أُمُّهُ
“Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ: ‘Siapakah manusia yang paling besar haknya atas seorang wanita?’ Beliau menjawab: ‘Suaminya.’ Aku bertanya lagi: ‘Siapakah manusia yang paling besar haknya atas seorang laki-laki?’ Beliau menjawab: ‘Ibunya.’”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabrani, serta dinukil dalam al-Mustadrak dan as-Sunan al-Kubrā. Sebagian ulama melemahkannya, namun maknanya selaras dengan banyak dalil lain tentang besarnya hak suami atas istri dan hak ibu atas anak laki-laki.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah berkata:
المرأة إذا تزوجت كان زوجها أملك بها من أبويها، وطاعة زوجها عليها أوجب
“Seorang wanita apabila telah menikah, maka suaminya lebih berhak atas dirinya daripada kedua orang tuanya, dan taat kepada suami lebih wajib baginya.”
Adapun untuk laki-laki, para ulama menjelaskan:
أعطِ كلَّ ذي حقٍّ حقَّه، الوالدان لهما حقوق عظيمة عليك، والزوجة والأولاد لهم حقوق أيضًا عظيمة عليك، وإذا تعارض حق الزوجة وحق الوالدين قُدِّم حق الوالدين ما لم يكن في ذلك ظلمٌ وتعسّف
“Berikan setiap orang yang memiliki hak, haknya. Kedua orang tua punya hak besar atasmu, demikian pula istri dan anak-anak. Jika hak istri bertentangan dengan hak orang tua, maka hak orang tua didahulukan selama tidak mengandung kezaliman dan sikap sewenang-wenang.”
Kesimpulan penimbangannya:
-
- Suami tetap wajib berbakti kepada orang tua, itu prioritas.
- Namun ia tidak boleh menzalimi istri dengan mengabaikan haknya, memaksa cerai tanpa sebab syar’i, atau menjadikannya kambing hitam setiap konflik.
- Ia harus berperan aktif sebagai penengah, bukan “alat” salah satu pihak.
5. Nasihat Syaikh al-Hamd: Jangan Biarkan Ibu Menghancurkan Hak Istri, dan Jangan Biarkan Istri Menjauhkan dari Ibu
Dalam pembahasan “antara istri dan orang tua”, Syaikh al-Hamd memberi dua penekanan penting:
-
Berbakti kepada ibu tidak boleh menenggelamkan hak istri.
Ia menjelaskan bahwa ada suami yang seolah “berbakti” pada ibu dengan cara: memaksa istri menjadi pembantu ibunya, membiarkan ibu mencela dan merendahkan istri, atau membiarkan ibu memaksa cerai tanpa alasan syar’i. Ini bukan birrul walidain, tapi mencampur birr dengan kezaliman. -
Kecintaan kepada istri tidak boleh memutus bakti kepada orang tua.
Di sisi lain, ada suami yang begitu sayang kepada istri hingga jarang menjenguk orang tua, menunda nafkah kepada mereka, dan merasa orang tua “mengganggu kenyamanan rumah tangga”. Ini jelas bentuk ‘uqūq.
Syaikh al-Hamd menekankan bahwa suami yang adil akan menjaga keduanya dalam koridor syariat: ia lembut kepada istri, namun tetap tegas dalam birrul walidain.
6. Dampak Buruk Bila Suami Abai Menjaga Harmoni Istri dengan Orang Tua
Beberapa konsekuensi yang diingatkan oleh para ulama ketika suami gagal menjadi penengah yang adil:
-
- Tergelincir dalam durhaka kepada orang tua, jika suami mengikuti keinginan istri untuk menjauh dari orang tua tanpa alasan syar’i.
- Menumpuk kezaliman kepada istri, jika suami selalu memihak orang tua meski istri benar, hingga hak nafkah, ketenangan, dan kehormatannya terabaikan.
-
Keluarga besar pecah belah, adik-adik dan kerabat ikut terprovokasi, dan konflik merembet ke banyak sisi
-
Anak-anak tumbuh dalam suasana benci mertua/nenek kakek, melihat ayahnya tidak adil, sehingga nilai birrul walidain dan adab kepada pasangan sulit tertanam di hati mereka
-
Terbuka pintu talak dan penyesalan panjang. Banyak kasus perceraian yang sebenarnya bisa dihindari andai suami mau sedikit lebih bijak dan sabar mendamaikan dua pihak.
7. Bagaimana Suami Menjaga Harmoni?
Berikut beberapa langkah praktis yang sejalan dengan nasihat Syaikh al-Hamd:
7.1. Luruskan Niat: Birr dan Husnul Mu‘āsyarah sebagai Ibadah
-
Niatkan berbakti kepada orang tua dan berbuat baik kepada istri sebagai ibadah, bukan sekadar budaya.
-
Ketika niat lurus, suami akan lebih mudah sabar, tidak emosional, dan tidak mengikuti hawa nafsu salah satu pihak.
7.2. Pahami Batas Hak Masing-masing
-
Orang tua: berhak mendapatkan bakti, penghormatan, doa, bantuan, kunjungan, dan nafkah sesuai kemampuan.
-
Istri: berhak atas nafkah, tempat tinggal yang layak, perlindungan, dan pembelaan dari kezaliman, serta diperlakukan dengan ma‘ruf.
Suami yang paham peta hak ini akan mudah berkata kepada setiap pihak:
-
Kepada orang tua: “Saya tetap berbakti, tapi saya juga tidak boleh menzalimi istri.”
-
Kepada istri: “Aku sayang padamu, tapi aku tidak boleh durhaka kepada orang tuaku.”
7.3. Tabayyun, Bukan Langsung Memvonis
Jika terjadi masalah:
-
Dengar kedua sisi tanpa langsung menghakimi.
-
Jangan jadikan satu pihak sebagai “sumber kebenaran tunggal”.
-
Jika ibu menyampaikan keluhan, cek dengan lembut pada istri, dan sebaliknya.
Ini sejalan dengan semangat nasihat Syaikh al-Hamd agar suami tidak membiarkan “penghasutan” merusak citra salah satu pihak di hatinya.
7.4. Buat Batasan yang Syar‘i dan Sehat
-
Jika orang tua punya sifat keras dan mudah tersinggung, suami boleh mengatur waktu kunjungan agar tidak terlalu sering sehingga memicu konflik, namun tanpa memutus silaturahmi.
-
Jika istri kurang adab kepada mertua, suami wajib menasihati istrinya dengan lembut, mengajarkan adab, dan memberi contoh praktis bagaimana menghormati orang tua.
7.5. Jangan Jadikan Cerai sebagai Jalan Cepat
Cerai hanya boleh dipakai jika pernikahan benar-benar tidak bisa dipertahankan dengan cara syar‘i. Mengakhiri rumah tangga hanya karena orang tua tidak cocok secara selera, tanpa alasan agama yang kuat, adalah bentuk kezaliman yang bisa menyeret kepada penyesalan panjang.
8. Langkah Taubat bagi Suami yang Sudah Terlanjur Salah
Jika suami merasa pernah terjatuh dalam kesalahan ini – misalnya dulu ikut memusuhi istri hanya karena tekanan orang tua, atau sebaliknya pernah menelantarkan orang tua demi menyenangkan istri – maka langkah berikut bisa ditempuh:
-
- Taubat kepada Allah dari sikap zalim dan durhaka.
- Meminta maaf secara tulus kepada pihak yang dizalimi (istri dan/atau orang tua).
- Memperbaiki pola komunikasi: lebih adil, lembut tetapi tegas.
- Memperbanyak doa agar Allah melembutkan hati semua pihak.
- Mencari ilmu tentang adab berbakti kepada orang tua dan adab berkeluarga, misalnya dengan membaca buku tentang akhlak keluarga.
Penutup
Gagal menjaga harmoni antara istri dan orang tua bukan sekadar kesalahan sosial, tetapi bisa berubah menjadi dosa durhaka dan kezaliman bila suami memihak tanpa adil, menelantarkan hak, atau menjadikan cerai mainan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd mengingatkan bahwa bab “antara istri dan orang tua” layak berdiri sendiri karena begitu banyak suami yang terjatuh pada titik ini. Tugas suami adalah “a‘ṭi kulli dzī ḥaqqin ḥaqqah” – “Berikan setiap pemilik hak, haknya.”
Menjadi anak yang berbakti sekaligus suami yang adil memang tidak mudah, tapi itulah jalan selamat di dunia dan akhirat.
Referensi
-
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, من أخطاء الأزواج (Min Akhtha’i al-Azwāj), Dār Ibn Khuzaymah, Riyadh
- Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, عقوق الوالدين: أسبابه – مظاهره – سبل العلاج, Dār Ibn Khuzaymah, Riyadh









