Salah satu bab penting dalam Tathīrul I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād karya Al-Imām Ash-Shan‘ānī dan dua syarahnya—Sabīlur Rasyād (Syaikh Shālih Al-Fauzān) dan Taufīq Rabbil ‘Ibād (Syaikh ‘Abdul ‘Azīz Ar-Rājihī)—adalah pembahasan tentang tawassul dan meminta kepada orang mati. Dalam bab ini, penulis menjelaskan bahwa tawassul yang benar adalah bagian dari tauhid, sementara tawassul batil dan istighātsah kepada orang mati adalah syirik akbar.
1. Mengapa Bertawassul dengan Perantara Orang yang Telah Wafat Termasuk Syirik & Kuburannya Harus Dibongkar?
Di awal Tathīrul I‘tiqād, Ash-Shan‘ānī menjelaskan mengapa beliau merasa wajib menulis kitab ini:
وبعد، فهذا تطهير الاعتقاد من أدران الإلحاد وجب علي تأليفه وتعين علي ترصيفه لما رأيته معلمته من اتخاذ العباد الأنداد في الأمصار والقرى وجميع البلاد من اليمن والشام ومصر ونجد وتهامة وجميع ديار الإسلام، وهو الاعتقاد في القبور وفي الأحياء ممن يدعي العلم بالمغيبات وهو من أهل الفجور…
“Adapun setelah itu, maka (risalah) Tathīrul I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād ini wajib bagiku untuk aku susun dan aku rapikan, karena aku melihat—dengan jelas—manusia telah menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah di kota-kota dan desa-desa di seluruh negeri: dari Yaman, Syam, Mesir, Najd, Tihamah, dan seluruh negeri Islam. Yaitu keyakinan terhadap kuburan-kuburan dan terhadap orang-orang yang hidup yang mengaku mengetahui perkara ghaib, padahal mereka adalah ahli kefajiran…”
Jadi sejak muqaddimah, beliau menegaskan: target utama risalah ini adalah keyakinan batil kepada kubur dan orang-orang yang dijadikan perantara antara hamba dan Allah.
2. Al-Qur’an: Membongkar Syubhat “Perantara” dan “Pemberi Syafaat”
2.1. “Kami cuma mencari perantara dan kedekatan”
Allah ﷻ berfirman:
أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَـٰذِبٌ كَفَّارٌ
“Ingatlah, hanya milik Allah agama yang murni. Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sungguh, Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta yang sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 3)
Ini persis alasan yang diucapkan sebagian orang saat ini:
“Kami tidak menyembah wali, cuma menjadikan mereka perantara agar doa kami dikabulkan.”
Padahal Allah menyebut itu sebagai syirik, bukan ibadah yang benar.
2.2. “Mereka pemberi syafaat di sisi Allah”
Allah ﷻ juga berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِۚ قُلْ أَتُنَبِّـُٔونَ ٱللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَلَا فِى ٱلْأَرْضِۚ سُبْحَـٰنَهُۥ وَتَعَـٰلَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan mudarat dan tidak (pula) manfaat bagi mereka, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah kalian hendak memberitahukan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya, baik di langit maupun di bumi?’ Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka sekutukan.” (QS. Yūnus: 18)
Syubhat “syafaat” yang dipakai para penyembah wali hari ini identik dengan syubhat musyrikin yang dibantah Al-Qur’an.
3. Doa adalah Ibadah – dan Ibadah Hanya Milik Allah
3.1. Doa adalah inti ibadah
Allah ﷻ berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَٰخِرِينَ
“Dan Rabb kalian berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.’” (QS. Ghāfir: 60)
Nabi ﷺ menjelaskan ayat ini:
ٱلدُّعَاءُ هُوَ ٱلْعِبَادَةُ» ثُمَّ قَرَأَ:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ“Doa itu adalah ibadah.” Kemudian beliau membaca: “Dan Rabb kalian berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan kalian…” (HR. At-Tirmiżī no. 2969, Abū Dāwūd no. 1479, Ibnu Mājah no. 3828)
Jika doa adalah ibadah, maka:
-
- Berdoa: “Yā fulān, sembuhkan aku, lapangkan rezekiku, lindungi aku” → berarti memberikan ibadah doa kepada selain Allah.
- Inilah inti syirik yang dibongkar oleh Ash-Shan‘ānī dalam Tathīrul I‘tiqād.
3.2. Nabi ﷺ mengajarkan: minta dan minta tolong hanya kepada Allah
Dalam hadits Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā:
يَا غُلَامُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: احْفَظِ ٱللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ ٱللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَٱسْأَلِ ٱللَّهَ، وَإِذَا ٱسْتَعَنتَ فَٱسْتَعِنْ بِٱللَّهِ…
“Wahai anak kecil, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: Jagalah (perintah) Allah, niscaya Dia akan menjagamu; jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah; jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah…” (HR. At-Tirmiżī no. 2516)
Meminta (su’al) dan meminta pertolongan (isti‘ānah/istighātsah) dalam perkara ghaib adalah ibadah yang hanya boleh diarahkan kepada Allah.
4. Perkataan Ash-Shan‘ānī tentang “Penyembah Kubur” dan Perantara
Setelah menjelaskan pokok-pokok tauhid, Ash-Shan‘ānī menggambarkan secara tajam kondisi penyembah kubur:
فهؤلاء القبوريون والمعتقدون في جهال الأحياء وضلالهم سلكوا مسالك المشركين حذو القذة بالقذة، فاعتقدوا فيهم ما لا يجوز أن يعتقد إلا في الله تعالى، وجعلوا لهم جزءا من المال، وقصدوا قبورهم من ديارهم، مسافرين للزيارة، وطافوا حول قبورهم، وقاموا خاضعين عند قبورهم، وهتفوا بهم عند الشدائد، ونحروا تقربا إليهم…
“Orang-orang penyembah kubur dan para pengagung orang-orang bodoh yang masih hidup telah menempuh jalan kaum musyrik, selangkah demi selangkah. Mereka meyakini pada (para wali) itu sesuatu yang tidak boleh diyakini kecuali kepada Allah Ta‘ālā. Mereka menjadikan bagian harta untuk mereka, mendatangi kubur mereka dari negeri-negeri yang jauh sebagai tujuan ziarah, thawaf di sekeliling kubur mereka, berdiri merendah di sisi kubur mereka, menyeru mereka ketika tertimpa kesulitan, dan menyembelih (hewan) sebagai bentuk pendekatan diri kepada mereka…”
Perhatikan unsur-unsur yang beliau sebut:
-
- Keyakinan bahwa wali bisa memberi manfaat dan mudarat,
- Safar jauh dengan maksud beribadah di kubur,
- Thawaf dan berdiri khusyuk di kuburan,
- Doa dan istighātsah kepada penghuni kubur,
- Sembelihan dan nazar untuk wali.
Itu semua adalah jenis-jenis ibadah yang semestinya hanya untuk Allah. Ketika seluruh ibadah ini diarahkan kepada wali yang sudah mati, itulah hakikat syirik akbar.
5. Syubhat-Syubhat Tawassul & Meminta pada Orang Mati – dan Jawabannya
5.1 Syubhat 1: “Kami hanya jadikan mereka perantara, bukan sesembahan.”
Jawaban:
Al-Qur’an sudah menyebut alasan yang sama dipakai oleh kaum musyrik:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (Az-Zumar: 3)
Kalimat “kami hanya menjadikan mereka perantara” adalah syubhat kuno yang telah dibatalkan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan kebatilannya dalam Tathīrul I‘tiqād.
5.2 Syubhat 2: “Orang mati itu hidup di alam barzakh, jadi boleh dimintai tolong.”
Jawaban:
Betul, orang mati memiliki kehidupan barzakh, tetapi tidak berarti:
-
- Kita boleh meminta kepada mereka,
- Menganggap mereka mendengar seluruh permintaan,
- Atau mampu mengatur sebab-sebab di alam dunia.
Ash-Shan‘ānī memasukkan perbuatan tersebut ke dalam kategori “سلكوا مسالك المشركين حذو القذة بالقذة” – mereka mengikuti jalan musyrikin, sehelai demi sehelai seperti bulu panah yang sama persis.
Syaikh Ar-Rājihī dalam Tawfīq Rabbil ‘Ibād menegaskan bahwa meminta kepada orang mati dalam perkara yang hanya mampu dilakukan Allah (ampunan, rezeki, sembuh, keselamatan) adalah ibadah yang dipalingkan kepada selain-Nya, sehingga termasuk syirik akbar.
5.3 Syubhat 3: “Sahabat bertawassul dengan Nabi ﷺ setelah beliau wafat.”
Jawaban:
Syubhat ini sering memakai riwayat-riwayat lemah tentang seseorang yang datang ke kubur Nabi ﷺ lalu “bertawassul dengan jah Nabi”.
-
Riwayat-riwayat yang eksplisit tentang orang datang ke kubur Nabi ﷺ lalu “meminta langsung kepada beliau” → lemah menurut para ahli hadits; tidak bisa jadi dasar bab akidah.
-
Praktik sahabat saat paceklik di masa ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu adalah bertawassul dengan doa Al-‘Abbās yang masih hidup—bukan dengan memanggil Nabi ﷺ di kuburnya.
-
Ahlus Sunnah membolehkan tawassul:
- Dengan nama & sifat Allah,
- Dengan amal shalih,
- Dengan doa orang shalih yang hidup.
Bukan dengan berdoa kepada Nabi atau wali yang telah wafat.
-
Ash-Shan‘ani membongkar pola berulang ini:\
-
Kaum musyrik Quraisy → menyembah orang shalih / berhala, alasan: “hanya perantara dan syafaat”.
- Kaum kuburiyyin (penyembah kubur) → memuliakan wali, doa di kubur, minta rezeki, minta keselamatan, dengan alasan yang sama.
-
6. Penjelasan Ulama Lainnya
6.1. Perkataan Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhāb
Beliau merumuskan salah satu nawāqiḍul Islām (pembatal Islam) sebagai berikut:
من جعل بينه وبين الله وسائط يدعوهم ويسألهم الشفاعة ويتوكل عليهم كفر اجماعا
“Barangsiapa menjadikan antara dirinya dan Allah perantara-perantara yang ia berdoa kepada mereka, meminta syafaat kepada mereka, dan bertawakkal kepada mereka, maka ia telah kafir berdasarkan ijma‘.”
Ini tepat dengan realita tawassul batil:
-
- Berdoa kepada wali,
- Memohon syafaat langsung kepada mereka,
- Menggantungkan hati dan tawakkal pada kuburan para “sayyid” dan “wali”.
6.2. Perkataan Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah rahimahullāh berkata:
سؤال الميت والغائب – نبيا كان أو غيره – من المحرمات المنكرة باتفاق أئمة المسلمين، لم يأمر الله به ولا رسوله، ولا فعله أحد من الصحابة ولا التابعين لهم بإحسان، ولا استحسنه أحد من أئمة المسلمين، وهذا مما يعلم بالاضطرار من دين المسلمين
“Meminta (berdoa) kepada orang mati dan orang yang tidak hadir—baik nabi maupun selainnya—termasuk perkara haram yang mungkar, berdasarkan kesepakatan para imam kaum muslimin. Allah dan Rasul-Nya tidak memerintahkannya, para sahabat dan tabi‘in yang mengikuti mereka dengan baik tidak melakukannya, dan tidak ada seorang pun dari imam kaum muslimin yang menganggapnya baik. Ini termasuk perkara yang diketahui secara pasti dalam agama kaum muslimin.”
Beliau juga berkata:
فمن جعل الملائكة والأنبياء وسائط يدعوهم ويتوكل عليهم ويسألهم جلب المنافع ودفع المضار، مثل أن يسألهم غفران الذنوب وهداية القلوب وتفريج الكروب وسد الفاقات؛ فهو كافر بإجماع المسلمين
“Maka barangsiapa menjadikan malaikat dan para nabi sebagai perantara; ia berdoa kepada mereka, bertawakkal kepada mereka, dan meminta kepada mereka agar mendatangkan manfaat dan menolak mudarat—seperti meminta ampunan dosa, hidayah hati, dilepaskan dari kesulitan, dan ditutup kebutuhan—maka ia kafir menurut ijma‘ kaum muslimin.”
Perkataan ini sejalan dengan garis besar Tathīrul I‘tiqād: meminta kepada orang mati dan menjadikan mereka perantara dalam ibadah adalah kufur dan syirik akbar.
6.3. Perkataan Al-Maqrīzī tentang Syirik Para Penyembah Wali
Al-Imām Al-Maqrīzī Asy-Syāfi‘ī rahimahullāh menjelaskan:
وشرك الأمم كله نوعان: شرك في الالوهية وشرك في الربوبية، فالشرك في الالوهية والعبادة هو الغالب على أهل الإشراك، وهو شرك عباد الأصنام وعباد الملائكة وعباد الجن وعباد المشايخ والصالحين الأحياء والأموات، الذين قالوا إنما نعبدهم ليقربونا إلى الله زلفى، ويشفعوا لنا عنده… والكتب الالهية كلها من أولها إلى آخرها تبطل هذا المذهب وترده وتقبح أهله
“Seluruh bentuk syirik umat-umat terdahulu terbagi dua: syirik ulūhiyyah dan syirik rubūbiyyah. Adapun syirik dalam ulūhiyyah dan ibadah adalah yang paling dominan di kalangan ahli syirik. Itulah syirik para penyembah berhala, penyembah malaikat, jin, para syaikh dan orang shalih, baik yang hidup maupun mati, yang berkata: ‘Kami tidak menyembah mereka kecuali agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dan memberi syafaat untuk kami.’ Seluruh kitab samawi dari awal hingga akhir membatalkan madzhab ini dan menganggap buruk para pelakunya.”
Ini persis yang dibantah Ash-Shan‘ānī: pola syirik yang sama, hanya objeknya berganti nama—dari Lāt, ‘Uzzā, dan Manāt menjadi nama-nama wali dan “sayyid” di kuburan.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan As-Shan’ani dan para Ulama lainnya di atas, maka dapat disimpulkan:
-
Tawassul yang syar‘i:
-
Dengan nama dan sifat Allah.
-
Dengan amal shalih sendiri.
-
Dengan doa orang shalih yang masih hidup dan hadir.
-
-
Tawassul & istighātsah yang batil dan termasuk syirik:
-
Berdoa kepada orang mati:
“Yā sayyidī fulān, sembuhkan aku, lancarkan rezekiku…”
-
Meminta pertolongan ghaib kepada penghuni kubur.
-
Menggantungkan hati dan tawakkal kepada wali sebagai “pengatur rezeki dan keselamatan”.
-
Menganggap doa di kubur wali lebih mustajab karena wali itulah yang “menggerakkan urusan”.
-
-
Inilah inti dakwah Tathīrul I‘tiqād:
-
Membersihkan akidah dari keyakinan kepada selain Allah,
-
Mengembalikan seluruh jenis ibadah—doa, istighātsah, nadzar, sembelihan, tawakkal—hanya kepada Allah semata.
-
Semoga Allah memurnikan akidah kita, menjauhkan kita dari syubhat tawassul batil, dan meneguhkan kita di atas tauhid sampai wafat. Āmīn.
Referensi
- Al-Imam Muhammad bin Isma‘il Al-Amir Ash-Shan‘ani, Tathīrul I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād, Riyadh: Ar-Ri’āsah Al-‘Āmmah lil-Buḥūts Al-‘Ilmiyyah wal-Iftā’
- Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan, Sabīlur Rasyād fī Syarh Tathīril I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād, Dār Ibn Al-Jawzī
- Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rājihī, Tawfīq Rabbil ‘Ibād fī Syarh Kitāb Tathīril I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād liṣ-Ṣan‘ānī, Dār Ibn Al-Jawzī
- Aḥmad bin ‘Alī Al-Maqrīzī, Tajrīd At-Tauḥīd Al-Mufīd
- Muḥammad bin ‘Abdil Wahhāb, Nawāqiḍul Islām
- Aḥmad bin ‘Abdil Ḥalīm Ibnu Taimiyyah, Majmū‘ Al-Fatāwā









