Banyak orang mengira perkara syirik, kultus kubur, atau mencari “orang sakti” hanya fenomena kampung dan masa lalu. Padahal di zaman modern, bentuknya justru makin beragam:
- datang ke “orang pintar” untuk “buka aura”,
- menggantungkan keselamatan rumah pada jimat,
- bernazar kepada kubur wali,
- meyakini tokoh tertentu punya “akses khusus” ke alam ghaib.
Semua ini persis penyakit akidah yang dikupas oleh Al-Imam Ash-Shan‘ani dalam kitabnya yang terkenal: “تطهير الاعتقاد عن أدران الإلحاد” (Tathīrul I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād).
Beliau menulis kitab ini bukan sekadar untuk mengkritik praktik zamannya, tetapi sebagai panduan memurnikan tauhid di setiap masa. Dalam edisi tahqīq Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbād disebutkan ucapan beliau:
فهذا تطهير الاعتقاد عن أدران الإلحاد وجب عليّ تأليفه وتعيّن عليّ ترصيفه لما رأيته وعلمته يقينًا من اتخاذ العباد الأنداد…
“Ini adalah Tathīrul I‘tiqād dari noda-noda ilhād; wajib bagi saya menyusunnya dan sangat perlu saya menatanya, karena apa yang saya lihat dan saya ketahui dengan yakin berupa perbuatan manusia menjadikan tandingan-tandingan (bagi Allah)….”
1. Inti Tauhid: Ibadah Hanya untuk Allah, Bukan Sekadar Mengakui Pencipta
Al-Qur’an menegaskan bahwa inti agama adalah ibadah yang murni hanya untuk Allah, bukan sekadar mengakui bahwa Allah Pencipta:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ [البينة: ٥]
“Mereka tidak diperintahkan kecuali agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (Al-bayyinah: 5)
Di penghujung Surat Al-Kahfi, Allah menutup dengan ayat yang sangat selaras dengan tema Tathīrul I‘tiqād:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا [الكهف: ١١٠]
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-kahfi: 110)
Ash-Shan‘ani menjelaskan bahwa tauhid uluhiyyah hanya terwujud jika seluruh bentuk ibadah dipersembahkan kepada Allah semata. Beliau berkata:
فإفراد الله بتوحيد العبادة لا يتم إلا بأن يكون الدعاء كله والنداء في الشدائد والرخاء والنذر والنحر وجميع أنواع العبادات لله وحده…
“Pengkhususan Allah dengan tauhid ibadah tidak akan sempurna kecuali apabila doa seluruhnya, seruan di waktu sempit dan lapang, nadzar, sembelihan, dan semua jenis ibadah dipersembahkan hanya kepada Allah semata….”
Relevansinya untuk Umat Hari Ini
Banyak orang masih berdoa kepada penghuni kubur atau tokoh tertentu.
- Sebagian menganggap nadzar ke “penjaga tempat keramat” itu bagian dari adab dan tawassul.
- Ada yang yakin bahwa “orang ini” bisa mengatur jodoh, rezeki, atau menyelamatkan dari petaka.
Semua ini bertentangan dengan konsekuensi ayat di atas dan ruh Tathīrul I‘tiqād.
2. Kritik Ash-Shan‘ani terhadap Kultus Kubur dan “Orang Sakti”
Ash-Shan‘ani hidup di lingkungan yang dipenuhi praktik kultus kubur dan ketergantungan pada orang yang dianggap wali di berbagai negeri Islam. Dalam mukadimahnya, beliau memotret kondisi ini:
رأيت اتخاذ القبور والأحياء ممن يدّعي علم المغيّبات والمكاشفات أندادًا في الأمصار والقرى وجميع ديار الإسلام…
“Aku melihat (manusia) menjadikan kubur-kubur dan orang-orang hidup yang mengaku mengetahui perkara ghaib dan kasyaf sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah) di kota-kota, desa-desa, dan seluruh negeri Islam….”
Dalam pembahasan lain, beliau menyebut kondisi “para penganut kubur” ini sangat mirip dengan musyrikin terdahulu:
فهؤلاء القبوريون… سلكوا مسالك المشركين حذو القذة بالقذة فاعتقدوا فيهم ما لا يجوز أن يعتقد إلا في الله…
“Orang-orang penganut kubur ini menempuh jalan para musyrik, setapak demi setapak, mereka meyakini pada (wali dan kuburan) sesuatu yang tidak boleh diyakini kecuali pada Allah….”
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ar-Rājihī menekankan bahwa masalah ini sangat aktual di zaman kita:
إن للقبوريين شبهًا يحتجون بها ويتشبّثون بها للدلالة على صحة أفعالهم الشركية والبدعية، وهذه الشبه ليست بشيء إذا عُرضت على الكتاب والسنة.
“Sesungguhnya para penganut kubur memiliki berbagai syubhat yang mereka jadikan hujjah dan mereka pegang untuk membenarkan perbuatan syirik dan bid’ah mereka, namun syubhat-syubhat itu tidak ada nilainya jika ditimbang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Dalam menjelaskan makna ibadah yang sering disalahpahami para pelaku kultus kubur, beliau mengutip dan menegaskan penjelasan Ash-Shan‘ani:
هذا جهل بمعنى العبادة، فإنها ليست منحصرة في الصلاة والصيام والحج، إنما العبادة أنواع كثيرة، منها الدعاء والذبح والنذر…
“Ini adalah bentuk kebodohan terhadap makna ibadah. Ibadah itu tidak terbatas pada shalat, puasa, dan haji. Ibadah itu banyak jenisnya, di antaranya doa, sembelihan, dan nadzar….”
Jadi, seseorang tetap bisa jatuh pada syirik meskipun ia shalat dan puasa, jika ia memalingkan jenis ibadah lain seperti doa, nadzar, sembelihan dan hati yang bergantung kepada selain Allah.
3. Menjawab Alasan: “Tapi Kami Tidak Merasa Musyrik, Hanya Tidak Tahu…”
Sebagian orang yang terjatuh pada kesyirikan beralasan:
“Kami tidak tahu kalau ini syirik.”
“Kami cuma ikut kebiasaan orang tua.”
Ash-Shan‘ani dengan tegas menyinggung syubhat ini:
فإن قلت هم جاهلون أنهم مشركون بما يفعلونه قلت قد خرج الفقهاء في باب الردة أن من تكلم بكلمة الكفر يكفر وإن لم يقصد معناها…
“Jika engkau berkata: mereka itu jahil, tidak tahu bahwa mereka musyrik dengan perbuatan mereka, maka aku jawab: para fuqaha telah membahas dalam bab riddah bahwa siapa yang mengucapkan kata-kata kufur, ia bisa kafir meskipun tidak berniat maknanya….”
Maksudnya:
- Jahil bukan alasan otomatis yang menggugurkan dosa dan hukum;
- Apalagi bila seseorang tidak mau belajar dan terus menerus membela praktik syirik itu.
Ini sangat relevan di zaman sekarang, ketika budaya ikut-ikutan dan tradisi justru sering dijadikan tameng untuk membela khurafat.
4. Hadits-Hadits tentang Bid‘ah, Syirik Terselubung, dan Ikut-Ikutan Umat Terdahulu
4.1. Peringatan dari Bid’ah dan Perkara Baru dalam Agama
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً… إِلَى أَنْ قَالَ: وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Waspadalah kalian dari perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Dāwud no. 5407, At-Tirmidzi no. 2676, Ibnu Mājah no. 42)
4.2. Setiap Amalan yang Tidak Sesuai Sunnah Tertolak
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-adakan dalam perkara (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka amalan itu tertolak.” (HR. Al-Bukhārī no. 2697, Muslim no. 1718)
Ini menjadi pijakan besar bagi Ash-Shan‘ani untuk menolak segala amalan khurafat yang tidak punya landasan syar‘i, meskipun dibungkus dengan label “cinta wali”, “tabarruk”, atau “nguri-uri tradisi”.
4.3. Umat Islam Akan Meniru Umat Sebelumnya
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَذْوَ الْقُذَّةِ بِالْقُذَّةِ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوهُ» قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: «فَمَنْ؟
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga jika mereka masuk lubang dhab pun kalian akan mengikutinya.” (HR. Al-Bukhārī dan Muslim)
Relevansinya:
- Banyak fenomena pemujaan tokoh agama, atau ritual-ritual ghaib yang mirip cara orang Nashrani berlebihan kepada pendeta dan santo.
- Kitab Tathīrul I‘tiqād mengingatkan bahwa umat ini tidak kebal dari penyimpangan, jika tidak kembali kepada dalil.
5. Mengapa Tathīrul I‘tiqād Sangat Penting untuk Umat Hari Ini?
5.1. Menjelaskan Beda Besar antara Tauhid dan Khurafat
Melalui penjelasan Ash-Shan‘ani dan dua syarh besar (Sabīlur Rasyād dan Tawfīq Rabbil ‘Ibād), pembaca diajak membedakan secara ilmiah dan rinci antara:
-
- Tauhid: memurnikan doa, tawakkal, nadzar, sembelihan, isti‘ānah, istighāthah hanya kepada Allah.
- Syirik dan khurafat: memalingkan sebagian ibadah tersebut kepada wali, kubur, jin, atau makhluk apa pun.
5.2. Menguliti Syubhat-Syubhat Modern
Bagian akhir kitab dan syarah-syarahnya banyak membahas syubhat yang sangat mirip dengan yang beredar di zaman sekarang, seperti:
-
- “Kami tidak menyembah kubur, cuma tawassul saja.”
- “Kami tetap shalat, zakat, haji. Jadi kami bukan musyrik.”
- “Orang yang datang ke dukun itu cuma ikhtiar.”
Syaikh ar-Rājihī menyimpulkan:
هذه الشبه التي يحتج بها القبوريون ليست بشيء إذا وُضِعَت في الميزان الشرعي، بل هي تكرار لشبه المشركين الأولين بألفاظ جديدة.
“Syubhat-syubhat yang dijadikan hujjah oleh para penganut kubur ini tidak ada nilainya jika ditimbang dengan timbangan syariat. Ia hanyalah pengulangan syubhat musyrikin terdahulu dengan lafaz baru.”
5.3. Menjembatani Antara Ilmu dan Realita Umat
Kitab Tathīrul I‘tiqād dan syarahnya tidak berhenti pada teori, tetapi:
-
- membawa contoh praktik nyata di masyarakat,
- menyebut kasus nadzar uang, emas, dan hasil panen untuk kubur,
- menceritakan orang yang menaruh sebagian mahar anaknya untuk pemilik kubur,
- dan fenomena pengagungan kubur yang melebihi penghormatan kepada masjid.
Ini semua masih terjadi sampai hari ini, hanya berbeda nama dan kemasan.
6. Relevansi Praktis bagi Muslim Zaman Sekarang
Beberapa bentuk penerapan kitab Tathīrul I‘tiqād dalam kehidupan kita:
-
Mengecek ulang semua bentuk “ibadah hati”
-
takut, harap, cinta yang paling dalam, tawakkal – jangan sampai kepada selain Allah.
-
-
Hati-hati dengan budaya “ngalap berkah”
-
berkah hanya dengan cara yang diajarkan Nabi ﷺ, bukan dari tanah, air, pohon, atau benda yang tidak ada dalilnya.
-
-
Tidak menjadikan ulama, kiai, atau tokoh sebagai “pengganti” Allah
-
kita hormati, kita doakan, kita belajar dari mereka;
-
tetapi tidak menggantungkan rezeki, keselamatan, dan nasib kepada mereka.
-
-
Menyaring tradisi
-
bukan semua tradisi itu haram;
-
namun jika tradisi mengandung doa kepada selain Allah, nadzar kepada kubur, ritual mistik – ia bertentangan dengan tauhid yang diajarkan dalam Tathīrul I‘tiqād.
-
-
Menghidupkan dakwah tauhid yang lembut tapi tegas
-
menjelaskan dengan dalil, bukan caci maki;
-
namun juga tidak menormalisasi syirik demi menjaga “kerukunan”.
-
Kesimpulan
Kitab Tathīrul I‘tiqād bukan sekadar karya klasik yang disimpan di rak. Ia adalah alarm bagi setiap muslim di zaman penuh khurafat, takhayul, dan kultus individu:
-
- mengingatkan bahwa sekadar mengucap “lā ilāha illallāh” tidak cukup bila masih memalingkan ibadah kepada selain Allah,
- menegaskan bahwa tauhid harus bersih dari segala noda syirik besar maupun kecil,
- dan menunjukkan bahwa banyak ritual yang dianggap “cinta wali” justru merusak kemurnian tauhid.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-Nya yang memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan menjauhkan diri dari semua bentuk syirik dan khurafat.
Referensi
- Al-Imam Muhammad bin Isma‘il Al-Amir Ash-Shan‘ani, Tathīrul I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād, Riyadh: Ar-Ri’āsah Al-‘Āmmah lil-Buḥūts Al-‘Ilmiyyah wal-Iftā’
- Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan, Sabīlur Rasyād fī Syarh Tathīril I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād, Dār Ibn Al-Jawzī
- Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rājihī, Tawfīq Rabbil ‘Ibād fī Syarh Kitāb Tathīril I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād liṣ-Ṣan‘ānī, Dār Ibn Al-Jawzī









