Tathīrul I‘tiqad (8): Keyakinan pada Selain Allah adalah Syirik dan Kritik Ash-Shan‘ani terhadap Kultus Kubur

0
3

Salah satu fokus terbesar Tathīrul I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād karya Al-Imām Ash-Shan‘ānī adalah membongkar kesyirikan yang tumbuh di sekitar kuburan, seperti meminta tolong kepada penghuni kubur, bernadzar untuk mereka, menyembelih di sisi kuburan, dan mengagungkan maqam para wali sebagaimana orang musyrik mengagungkan berhala mereka.


1. Al-Qur’an: Menetapkan Bahwa Ibadah Hanya untuk Allah

1.1. Al-Qur’an membongkar alasan klasik para penyembah selain Allah

Allah ﷻ berfirman:

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

“Ingatlah, hanya milik Allah agama yang murni. Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’. Sungguh, Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta yang sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 3)

Ayat ini turun untuk membantah alasan klasik para pelaku syirik: mereka mengklaim “kami hanya menjadikan mereka perantara dan pemberi syafaat”. Ini persis alasan yang digunakan oleh sebagian pelaku kultus kubur di masa sekarang.

1.2. Hati musyrik senang bila disebut selain Allah

Allah ﷻ juga menggambarkan kondisi hati para pelaku syirik:

وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ ۖ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

“Dan apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat; tetapi apabila disebut nama-nama (sembahan) selain Dia, tiba-tiba mereka bergirang hati.” (QS. Az-Zumar: 45)

Ash-Shan‘ānī menafsirkan fenomena kultus kubur pada zamannya dengan ayat ini: ketika hanya tauhid yang diserukan dan syirik kubur dikritik, banyak orang justru marah dan tersinggung; tetapi ketika disebut nama “sayyid fulan” atau “wali fulan” di maqamnya, mereka justru sangat senang.

1.3. Menyembah selain Allah demi syafaat adalah syirik

Allah ﷻ berfirman:

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan mudarat dan tidak (pula) manfaat bagi mereka, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah’. Katakanlah, ‘Apakah kalian akan memberitahu Allah tentang apa yang tidak diketahui-Nya, baik di langit maupun di bumi?’ Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Yūnus: 18)

Ayat ini menjadi landasan pokok bahwa menjadikan makhluk sebagai perantara dalam bentuk ibadah (doa, nadzar, sembelihan, isti‘ānah) adalah syirik akbar, meski pelakunya mengklaim “hanya mencari syafaat”.


2. Kritik Keras Ash-Shan‘ānī terhadap Kultus Kubur

2.1. Kubah, bangunan, dan keramaian di kuburan: jalan terbesar menuju syirik

Ash-Shan‘ānī menggambarkan secara sangat tajam dalam Tathīrul I‘tiqād:

فإن هذه القباب والمشاهد التي بنيت على القبور في البلاد، قد صارت أعظم ذريعة إلى الشرك بالله وعبادة أصحاب هذه القبور من دون الله، بما يفعل عندها من الدعاء والاستغاثة والنذر والذبح والطواف…

“Sesungguhnya kubah-kubah dan bangunan-bangunan (maqam) yang didirikan di atas kuburan di berbagai negeri, telah menjadi sarana terbesar menuju syirik kepada Allah dan penyembahan kepada pemilik kubur itu selain Allah, melalui berbagai praktik di sekitarnya seperti berdoa, beristighatsah, bernadzar, menyembelih, dan thawaf di sekelilingnya…”

Inilah yang dalam praktik masyarakat dikenal sebagai kultus kubur: tempat kuburan dijadikan pusat ritual, permohonan rezeki, kesembuhan, jodoh, keamanan, dan keberuntungan.

2.2. “Para penyembah kubur meniru orang musyrik, selangkah demi selangkah”

Ash-Shan‘ānī menjelaskan bahwa pelaku kultus kubur berjalan persis di atas jejak kaum musyrik:

فهؤلاء القبوريون والمعتقدون في جهال الأحياء وضلالهم سلكوا مسالك المشركين حذو القذة بالقذة، فاعتقدوا فيهم ما لا يجوز أن يعتقد إلا في الله تعالى، وجعلوا لهم جزءًا من المال، وقصدوا قبورهم من ديارهم البعيدة، وطافوا حول قبورهم، وقاموا خاضعين عندها، وهتفوا بهم عند الشدائد، ونحروا تقربًا إليهم… ويقسمون بأسمائهم، بل إذا حلف من عليه حق باسم الله تعالى لم يقبلوا منه، فإذا حلف باسم وليّ من أوليائهم قبلوه وصدقوه

“Orang-orang penyembah kubur dan para pengagung orang-orang bodoh yang masih hidup, telah menempuh jalan kaum musyrik, selangkah demi selangkah. Mereka meyakini pada (para wali) itu sesuatu yang tidak boleh diyakini kecuali kepada Allah Ta‘ālā. Mereka menetapkan bagian harta untuk mereka, menempuh perjalanan jauh menuju kubur mereka, thawaf di sekeliling kuburnya, berdiri merendah di sisi kubur, menyeru mereka ketika tertimpa kesulitan, menyembelih sebagai bentuk pendekatan kepada mereka… Mereka juga bersumpah dengan nama para wali itu; bahkan bila seseorang yang punya kewajiban bersumpah dengan nama Allah, mereka tidak menerimanya. Tetapi bila ia bersumpah dengan nama wali di antara mereka, mereka menerimanya dan membenarkannya.”

Perkataan ini menunjukkan bahwa inti syirik itu adalah pengagungan ibadah kepada selain Allah, baik dalam bentuk:

    1. Doa dan istighatsah kepada penghuni kubur.
    2. Nadzar dan sembelihan untuk mereka.
    3. Bersumpah dengan nama mereka, dan menganggap sumpah itu lebih kuat daripada sumpah dengan nama Allah.

2.3. Hadits larangan menjadikan kubur sebagai tempat ibadah

Nabi ﷺ telah mengingatkan sejak awal agar umat tidak terjerumus dalam penyembahan kubur:

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Al-Bukhārī no. 435 dan Muslim no. 531)

Dan dalam hadits lain:

اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Ya Allah, jangan jadikan kuburku berhala yang disembah. Sangat besar kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid.”

Ash-Shan‘ānī memahami bahwa bangunan megah di atas kubur, menjadikannya tempat ritual, dan menggantungkan doa serta permohonan di situ adalah langkah pertama menuju menjadikan kubur itu “berhala modern”.


3. Penjelasan Syaikh Shāliḥ Al-Fauzān dan Syaikh ‘Abdul ‘Azīz Ar-Rājihī

3.1. Bangunan megah di kuburan adalah jalan ke syirik

Dalam Sabīlur Rasyād fī Syarh Tathīril I‘tiqād, Syaikh Shāliḥ Al-Fauzān menegaskan bahwa pembangunan kubah dan masjid di atas kubur, keramaian di sekitarnya, serta ritual yang dilakukan di sana, termasuk “dzarī‘ah” (sarana) terbesar kepada syirik besar, sebagaimana dinyatakan Ash-Shan‘ānī.

Beliau menjelaskan bahwa ayat “أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ…” sangat tepat untuk membantah klaim tawassul dan tabarruk syirik di kuburan, karena mereka berkata, “kami hanya mencari perantara kepada Allah.”

3.2. Ritual di kuburan sama dengan syirik kaum musyrik

Dalam Taufīq Rabbil ‘Ibād fī Syarh Kitāb Tathīril I‘tiqād, Syaikh ‘Abdul ‘Azīz Ar-Rājihī menjelaskan bahwa seluruh bentuk:

    1. Istighātsah (meminta pertolongan) kepada penghuni kubur,
    2. Nadżar dan sembelihan untuk mereka,
    3. Thawaf dan ruku‘ di sekitar kuburan,

adalah ibadah yang seharusnya hanya untuk Allah, sehingga memalingkannya kepada selain Allah termasuk syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam bila dilakukan dengan ilmu dan sengaja

Beliau menguatkan hal ini dengan kaidah para ulama, di antaranya perkataan Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah:

من جعل بينه وبين الله وسائط يدعوهم ويتوكل عليهم ويسألهم كفر إجماعًا

“Barangsiapa menjadikan antara dirinya dan Allah perantara-perantara yang ia berdoa kepada mereka, bertawakal kepada mereka, dan meminta kepada mereka, maka ia kafir menurut ijma‘ (ulama).”

Perkataan ini menjadi penjelasan tegas bahwa:

    1. Menjadikan wali, syekh tarekat, atau penghuni kubur sebagai perantara dengan cara berdoa langsung kepada mereka adalah kekafiran,
    2. Karena itulah yang dilakukan oleh kaum musyrikin yang berkata, “مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ”.

4. Mengapa Keyakinan pada Selain Allah adalah Syirik?

4.1. Doa adalah ibadah – dan ibadah harus murni hanya kepada Allah

Doa termasuk ibadah yang paling agung. Nabi ﷺ bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa itu adalah (inti) ibadah.” (HR. At-Tirmidzī no. 2969)

Jika doa itu ibadah, maka:

    1. Berdoa kepada wali di kuburnya,
    2. Meminta “ya fulān, sembuhkan aku, jodohkan aku, beri aku rezeki”,

adalah memalingkan ibadah kepada selain Allah, dan ini hakikat syirik akbar.

4.2. Sumpah dan pengagungan berlebihan: pintu syirik yang lain

Ash-Shan‘ānī mengisahkan bahwa banyak orang lebih percaya sumpah dengan nama wali daripada sumpah dengan nama Allah. Padahal Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa hendak bersumpah, hendaklah ia bersumpah dengan (nama) Allah atau diam.” (HR. Al-Bukhārī no. 2679)

Dan dalam hadits lain:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka sungguh ia telah berbuat syirik.” (HR. At-Tirmidzī no. 1535, Abū Dāwūd no. 3251)

Sumpah adalah bentuk pengagungan, dan pengagungan mutlak hanya layak untuk Allah. Maka menjadikan nama wali, syekh, atau penghuni kubur sebagai “nama agung” yang lebih dipercaya sumpahnya daripada nama Allah, adalah bentuk syirik dalam pengagungan.


Kesimpulan

Dari penjelasan Ash-Shan‘ānī dan dua syarah utama Tathīrul I‘tiqād, dapat diringkas beberapa poin akidah penting:

    1. Setiap jenis ibadah hati dan lisan – doa, istighātsah, tawakkal, nadzar, sembelihan – harus murni hanya untuk Allah.
    2. Mengagungkan kuburan dengan bangunan, lampu, dan ritual tertentu membuka pintu besar menuju syirik.
    3. Meminta tolong, memohon rezeki, kesembuhan, dan keselamatan kepada penghuni kubur merupakan syirik akbar, meski pelakunya berkata “hanya mencari syafaat”.
    4. Alasan “menjadikan mereka sebagai perantara” (وسائط) sudah dibantah langsung oleh Al-Qur’an dalam QS. Az-Zumar: 3 dan Yūnus: 18.
    5. Tradisi dan kebiasaan masyarakat tidak bisa menghalalkan sesuatu yang telah dinyatakan syirik dalam nash; justru Tathīrul I‘tiqād ditulis untuk membersihkan akidah dari kebiasaan-kebiasaan semacam itu.
    6. Kultus kubur bukan sekadar “bentuk cinta kepada wali”, tetapi – ketika disertai doa, istighātsah, nadzar, sembelihan, dan keyakinan bahwa penghuni kubur bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudarat – telah berubah menjadi syirik besar.

Melalui Tathīrul I‘tiqād, Ash-Shan‘ānī mengingatkan bahwa agama yang murni hanyalah milik Allah. Tidak boleh ada bagian ibadah sedikit pun yang diberikan kepada selain-Nya. Menjadikan kuburan sebagai pusat ibadah dan permohonan adalah bentuk menyekutukan Allah dalam hak ibadah-Nya.

Semoga Allah memurnikan akidah kita, menjauhkan kita dari syirik dalam segala bentuknya, dan meneguhkan kita di atas tauhid sampai wafat.


Referensi

  1. Al-Imam Muhammad bin Isma‘il Al-Amir Ash-Shan‘ani, Tathīrul I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād, Riyadh: Ar-Ri’āsah Al-‘Āmmah lil-Buḥūts Al-‘Ilmiyyah wal-Iftā’
  2. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan, Sabīlur Rasyād fī Syarh Tathīril I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād, Dār Ibn Al-Jawzī
  3. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rājihī, Tawfīq Rabbil ‘Ibād fī Syarh Kitāb Tathīril I‘tiqād ‘an Adrānil Ilhād liṣ-Ṣan‘ānī, Dār Ibn Al-Jawzī

 

 

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Mohon masukkan nama anda di sini