Kesalahan Suami 1: Lalai Berbakti kepada Orang Tua Setelah Menikah

0
1

Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dalam kitab من أخطاء الأزواج (Min Akhtha’i al-Azwāj) menjadikan “teledor atau lalai berbakti kepada orang tua setelah menikah” sebagai kesalahan pertama yang sering terjadi pada suami. Di awal buku, beliau menjelaskan bagaimana sebagian suami tiba-tiba berubah setelah menikah: dulu sangat perhatian kepada orang tua, setelah punya istri dan rumah sendiri, hubungan mulai renggang, kunjungan jarang, nafkah berkurang, bahkan ada yang memutus komunikasi.

Padahal, pernikahan bukan alasan untuk memutus bakti, justru menjadi medan baru untuk menyempurnakan birrul wâlidain sambil menunaikan hak istri dan anak.


1. Dalil Al-Qur’an: Birrul Wâlidain Setelah Menikah Tetap Wajib

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا 

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”  (QS. Al-Isrā’ [17]: 23)

Makna ringkas:

    • “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tuamu sebaik-baiknya…”
    • Ayat ini menggabungkan tauhid dengan birrul wâlidain, menunjukkan betapa agungnya kedudukan orang tua.
    • Tidak ada pengecualian “kecuali setelah menikah”. Hak orang tua tetap berjalan, sementara hak istri hadir sebagai kewajiban baru yang harus ditata dengan hikmah.

2. Dalil Hadits: Ibu Tiga Kali Lebih Berhak, Ayah Pun Tetap Agung Haknya

Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ

“Seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak aku perlakukan dengan sebaik-baiknya (dalam pergaulanku)?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Ia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Kemudian ibumu.’ Ia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Kemudian ibumu.’ Ia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. al-Bukhārī no. 5971, Muslim no. 2548)

Hadits ini menegaskan:

    • Ibu adalah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan terbaik seorang anak, lalu ibunya lagi, lalu ibunya lagi, kemudian ayah.
    • Setelah menikah, suami tetap anak dari kedua orang tuanya; status suami tidak menghapus status anak.

Hadits lain yang sangat menakutkan:

رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ» قِيلَ: مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ، أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا، ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

“Terhinakanlah dia, terhinakanlah dia, terhinakanlah dia.” Ada yang bertanya, “Siapakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Yaitu) orang yang mendapati kedua orang tuanya di masa tua, salah satu dari keduanya atau keduanya sekaligus, lalu (kesempatan itu) tidak memasukkannya ke dalam surga.”

celaka, terhina, dan merugi berat orang yang punya peluang meraih surga melalui orang tuanya yang sudah tua, namun ia sia-siakan.


3. Perkataan Ulama: Birrul Wâlidain, Fitri dan Disepakati Syariat

Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd berkata dalam risalah lain tentang birrul wâlidain:

ان بر الوالدين مما اقرته الفطر السوية واتفقت عليه الشرائع السماوية وهو خلق الانبياء وداب الصالحين

“Sesungguhnya berbakti kepada kedua orang tua adalah perkara yang diakui oleh fitrah yang lurus, disepakati oleh seluruh syariat langit, ia adalah akhlak para nabi dan kebiasaan orang-orang saleh.”

Kalimat ini menunjukkan: siapa yang setelah menikah tiba-tiba tega menyakiti atau melupakan orang tuanya, berarti ia sedang menyelisihi fitrah, menyelisihi para nabi, dan menyelisihi jalan orang-orang saleh.


4. Bentuk Kelalaian Suami Setelah Menikah

Dalam Min Akhtha’i al-Azwāj, bab pertama berjudul “التقصير في بر الوالدين بعد الزواج” – ‘Terlalaikan dalam berbakti kepada orang tua setelah menikah’. Secara ringkas, kesalahan suami yang beliau sebutkan antara lain:

1) Mengurangi atau Memutus Nafkah Tanpa Alasan Syari

    • Dulu suami rutin memberi nafkah bulanan kepada orang tua, setelah menikah tiba-tiba berhenti, padahal masih mampu.

    • Padahal, memberi nafkah kepada orang tua yang butuh adalah bagian dari birrul wâlidain dan bisa menjadi nafkah wajib jika mereka tidak punya penopang lain.

2) Jarang Menjenguk dan Menghubungi

    • Ada suami yang nyaman di rumah baru, lupa bahwa ada ayah ibu yang rindu.

    • Telepon sesekali, kunjungan setahun sekali, padahal satu kota atau dekat jarak tempuh, bahkan tidak sampai kategori safar.

3) Membiarkan Istri Benci dan Kasar kepada Orang Tua

    • Kadang masalah muncul dari pihak istri: cemburu perhatian suami kepada ibunya, tidak suka dinasihati mertua, dan sejenisnya.

    • Kesalahan suami: ikut arus, bahkan memihak istri dalam kebatilan, lalu menjauh dari orang tua. Dalam risalah lain, penulis mengingatkan bahaya istri yang mendorong suami untuk memberontak kepada orang tuanya.

4) Menjadikan Orang Tua sebagai “Sumber Masalah Rumah Tangga”

    • Alih-alih mencari solusi, ada suami yang merasa:
      “Kalau aku terlalu dekat dengan orang tua, rumah tangga jadi banyak konflik.”
      Lalu ia ambil “jalan pintas”: menjauh dari orang tua.

    • Padahal yang benar adalah menata hubungan dan bersikap adil, bukan memutus bakti.


5. Menyeimbangkan Hak Istri dan Hak Orang Tua

Ini bagian yang sering bikin bingung: kalau istri tidak cocok dengan orang tua, suami harus pilih siapa?

Beberapa kaidah penting:

1) Hak Istri dan Hak Orang Tua Sama-Sama Syariat

    • Suami wajib menafkahi dan melindungi istrinya.
    • Suami wajib berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
    • Tidak boleh menjadikan syariat yang satu sebagai alasan untuk menjatuhkan syariat yang lain.

Fatwa para ulama kontemporer menekankan agar suami menyeimbangkan: menyediakan tempat tinggal yang layak untuk istri (kalau tinggal satu rumah dengan orang tua selalu memicu pertengkaran) sambil tetap menjaga berbakti dan berkunjung kepada orang tua dengan santun dan rutin.

2) Tidak Boleh Taat kepada Orang Tua dalam Maksiat

Kalau orang tua menyuruh sesuatu yang jelas maksiat – misalnya menyuruh menzalimi istri, mengambil haknya tanpa alasan – maka:

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Sang Pencipta.

Namun tetap berbicara halus dan sopan kepada orang tua, tidak membentak atau menghina mereka.


6. Contoh Nyata Kesalahan Suami terhadap Orang Tua Setelah Menikah

Beberapa contoh yang sering terjadi dan masuk dalam kategori lalai:

    1. Berhenti mengirim nafkah untuk orang tua, padahal mereka tidak punya penghasilan, hanya karena takut istri cemburu.
    2. Tidak pernah mengajak anak menjenguk kakek-nenek, sehingga hubungan keluarga terputus.
    3. Mengabaikan telepon dan pesan orang tua, tetapi sangat responsif terhadap teman dan kolega.
    4. Membiarkan orang tua mengurus diri sendiri di masa tua, sementara suami hidup cukup nyaman dengan istri dan anak.
    5. Menceritakan keburukan orang tua kepada istri, hingga istri semakin benci dan akhirnya ikut durhaka.
    6. Memakai harta orang tua tanpa izin, lalu bersikap seolah-olah itu haknya.

Sebagian bentuk ini masuk ke dalam bab “ʿuqūq al-wālidayn” (durhaka kepada orang tua) yang dijelaskan lebih luas oleh Syaikh al-Hamd dalam kitab khusus tentang itu.


7. Dampak Lalai Berbakti kepada Orang Tua

Syaikh al-Hamd menjelaskan bahwa dampak kelalaian ini tidak hanya di akhirat, tapi juga di dunia:

  1. Hilangnya keberkahan rezeki dan ketenangan rumah tangga.
  2. Doa orang tua yang terluka – yang sangat cepat dikabulkan, baik doa kebaikan atau keluh kesah mereka.
  3. Anak-anak meniru pola yang sama: kalau ayah cuek kepada kakeknya, suatu hari anak mungkin akan cuek kepada ayah.
  4. Suami berisiko termasuk orang yang dicela Nabi dalam hadits “rughima anfuhu” tadi.

8. Tips Praktis: Agar Suami Tetap Berbakti Setelah Menikah

Berikut beberapa langkah praktis yang sejalan dengan penjelasan Syaikh al-Hamd tentang “مما يعين على الاستمرار بالبر بعد الزواج – hal-hal yang membantu terus berbakti setelah menikah”.

1) Luruskan Niat

    • Niatkan segala bentuk bakti (telepon, kunjungan, nafkah, membantu kebutuhan) sebagai amal untuk mencari ridha Allah.

    • Jadikan birrul wâlidain sebagai proyek ibadah jangka panjang, bukan sekadar sopan santun sosial.

2) Buat Jadwal Pasti, Bukan Sekadar “Kalau Sempat”

    • Contoh: minimal sekali seminggu kunjungan, atau kalau jauh video call harian yang hangat.

    • Ajak istri dan anak sehingga terasa sebagai kegiatan keluarga, bukan “urusan suami saja”.

3) Komunikasi Terbuka dengan Istri

    • Jelaskan kepada istri:

      • Birrul wâlidain adalah kewajiban syar’i.

      • Berbakti kepada orang tua tidak mengurangi cinta suami kepada istri.

    • Minta istri membantu: mengingatkan untuk telepon orang tua, menyiapkan hadiah kecil, mengajak anak kirim voice note, dll.

4) Adil dalam Waktu dan Perhatian

    • Jangan sampai seluruh waktu luang habis untuk nongkrong, hobi, atau scroll sosmed, sementara menelepon orang tua pun jarang.

    • Gaya “sibuk kerja” sering hanya alasan; 3–5 menit mengirim pesan ke orang tua tidak meruntuhkan produktivitas.

5) Jaga Perasaan Orang Tua ketika Harus Membatasi

Terkadang, demi menjaga rumah tangga, suami perlu:

    • Mengatur jarak tinggal (tidak serumah, atau beda lantai, dll).

    • Menolak sebagian keinginan orang tua yang bisa menzalimi istri.

Lakukan dengan bahasa yang halus dan penuh penghormatan, misalnya:

“Abi/Ummi, saya sayang sekali sama Abi/Ummi. Justru karena sayang, saya ingin istri saya juga tenang, supaya rumah tangga ini kuat dan bisa lebih banyak berbakti ke Abi/Ummi…”

Bukan dengan kalimat tajam seperti:

“Sudah lah, jangan ikut campur!”
“Ini rumah tangga saya, Abi/Ummi diam saja!”


Penutup

Lalai berbakti kepada orang tua setelah menikah adalah kesalahan pertama yang diangkat Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dalam Min Akhtha’i al-Azwāj. Ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Seorang suami yang shalih seharusnya:

    • Menjadikan rumah tangganya sarana menambah kebaikan kepada orang tua,
    • Bukan menjadikan pernikahan sebagai alasan untuk memutus tali bakti.

Semoga Allah menjadikan kita suami-suami yang:

    • Lembut kepada istri,
    • Berbakti kepada orang tua,
    • Dan diberi keberkahan pada keluarga dan keturunan.

Referensi

  1. Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, من أخطاء الأزواج (Min Akhtha’i al-Azwāj), Dār Ibn Khuzaymah, Riyadh

  2. Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, عقوق الوالدين: أسبابه – مظاهره – سبل العلاج, Dār Ibn Khuzaymah, Riyadh








TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Mohon masukkan nama anda di sini