Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dalam kitab من أخطاء الأزواج (Min Akhtha’i al-Azwāj) menjadikan “teledor atau lalai berbakti kepada orang tua setelah menikah” sebagai kesalahan pertama yang sering terjadi pada suami. Di awal buku, beliau menjelaskan bagaimana sebagian suami tiba-tiba berubah setelah menikah: dulu sangat perhatian kepada orang tua, setelah punya istri dan rumah sendiri, hubungan mulai renggang, kunjungan jarang, nafkah berkurang, bahkan ada yang memutus komunikasi.
Padahal, pernikahan bukan alasan untuk memutus bakti, justru menjadi medan baru untuk menyempurnakan birrul wâlidain sambil menunaikan hak istri dan anak.
1. Dalil Al-Qur’an: Birrul Wâlidain Setelah Menikah Tetap Wajib
Allah Ta’ala berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. Al-Isrā’ [17]: 23)
Makna ringkas:
-
- “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tuamu sebaik-baiknya…”
- Ayat ini menggabungkan tauhid dengan birrul wâlidain, menunjukkan betapa agungnya kedudukan orang tua.
- Tidak ada pengecualian “kecuali setelah menikah”. Hak orang tua tetap berjalan, sementara hak istri hadir sebagai kewajiban baru yang harus ditata dengan hikmah.
2. Dalil Hadits: Ibu Tiga Kali Lebih Berhak, Ayah Pun Tetap Agung Haknya
Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ
“Seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak aku perlakukan dengan sebaik-baiknya (dalam pergaulanku)?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Ia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Kemudian ibumu.’ Ia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Kemudian ibumu.’ Ia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. al-Bukhārī no. 5971, Muslim no. 2548)
Hadits ini menegaskan:
-
- Ibu adalah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan terbaik seorang anak, lalu ibunya lagi, lalu ibunya lagi, kemudian ayah.
- Setelah menikah, suami tetap anak dari kedua orang tuanya; status suami tidak menghapus status anak.
Hadits lain yang sangat menakutkan:
رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ» قِيلَ: مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ، أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا، ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
celaka, terhina, dan merugi berat orang yang punya peluang meraih surga melalui orang tuanya yang sudah tua, namun ia sia-siakan.
8. Tips Praktis: Agar Suami Tetap Berbakti Setelah Menikah
Berikut beberapa langkah praktis yang sejalan dengan penjelasan Syaikh al-Hamd tentang “مما يعين على الاستمرار بالبر بعد الزواج – hal-hal yang membantu terus berbakti setelah menikah”.
1) Luruskan Niat
-
-
Niatkan segala bentuk bakti (telepon, kunjungan, nafkah, membantu kebutuhan) sebagai amal untuk mencari ridha Allah.
-
Jadikan birrul wâlidain sebagai proyek ibadah jangka panjang, bukan sekadar sopan santun sosial.
-
2) Buat Jadwal Pasti, Bukan Sekadar “Kalau Sempat”
-
-
Contoh: minimal sekali seminggu kunjungan, atau kalau jauh video call harian yang hangat.
-
Ajak istri dan anak sehingga terasa sebagai kegiatan keluarga, bukan “urusan suami saja”.
-
3) Komunikasi Terbuka dengan Istri
-
-
Jelaskan kepada istri:
-
Birrul wâlidain adalah kewajiban syar’i.
-
Berbakti kepada orang tua tidak mengurangi cinta suami kepada istri.
-
-
Minta istri membantu: mengingatkan untuk telepon orang tua, menyiapkan hadiah kecil, mengajak anak kirim voice note, dll.
-
4) Adil dalam Waktu dan Perhatian
-
-
Jangan sampai seluruh waktu luang habis untuk nongkrong, hobi, atau scroll sosmed, sementara menelepon orang tua pun jarang.
-
Gaya “sibuk kerja” sering hanya alasan; 3–5 menit mengirim pesan ke orang tua tidak meruntuhkan produktivitas.
-
5) Jaga Perasaan Orang Tua ketika Harus Membatasi
Terkadang, demi menjaga rumah tangga, suami perlu:
-
-
Mengatur jarak tinggal (tidak serumah, atau beda lantai, dll).
-
Menolak sebagian keinginan orang tua yang bisa menzalimi istri.
-
Lakukan dengan bahasa yang halus dan penuh penghormatan, misalnya:
“Abi/Ummi, saya sayang sekali sama Abi/Ummi. Justru karena sayang, saya ingin istri saya juga tenang, supaya rumah tangga ini kuat dan bisa lebih banyak berbakti ke Abi/Ummi…”
Bukan dengan kalimat tajam seperti:
“Sudah lah, jangan ikut campur!”
“Ini rumah tangga saya, Abi/Ummi diam saja!”
Penutup
Lalai berbakti kepada orang tua setelah menikah adalah kesalahan pertama yang diangkat Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dalam Min Akhtha’i al-Azwāj. Ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Seorang suami yang shalih seharusnya:
-
- Menjadikan rumah tangganya sarana menambah kebaikan kepada orang tua,
- Bukan menjadikan pernikahan sebagai alasan untuk memutus tali bakti.
Semoga Allah menjadikan kita suami-suami yang:
-
- Lembut kepada istri,
- Berbakti kepada orang tua,
- Dan diberi keberkahan pada keluarga dan keturunan.
Referensi
-
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, من أخطاء الأزواج (Min Akhtha’i al-Azwāj), Dār Ibn Khuzaymah, Riyadh
- Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, عقوق الوالدين: أسبابه – مظاهره – سبل العلاج, Dār Ibn Khuzaymah, Riyadh









