Pada artikel sebelumnya, kita sudah melihat peta dunia dan Jazirah Arab sebelum risalah Nabi ﷺ. Sekarang kita fokus lebih dekat: seperti apa kehidupan sosial dan moral masyarakat Arab sebelum Islam?
Pertanyaan pentingnya:
“Seberapa gelap Jahiliyyah itu, sehingga Islam disebut sebagai cahaya?”
1. Potret Singkat Masyarakat Jahiliyyah
Para sahabat sendiri yang menggambarkan keadaan mereka sebelum Islam. Di antara penjelasan paling padat dan tajam adalah ucapan Ja‘far bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu di hadapan Raja Najāsyī (Habasyah).
1.1. Ucapan Ja‘far bin Abi Thalib
Beliau berkata:
«أَيُّهَا الْمَلِكُ، كُنَّا أَهْلَ جَاهِلِيَّةٍ نَعْبُدُ الْأَصْنَامَ، وَنَأْكُلُ الْمَيْتَةَ، وَنَأْتِي الْفَوَاحِشَ، وَنَقْطَعُ الْأَرْحَامَ، وَنُسِيءُ الْجِوَارَ، وَيَأْكُلُ الْقَوِيُّ مِنَّا الضَّعِيفَ، فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ حَتَّى بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْنَا رَسُولًا مِنَّا نَعْرِفُ نَسَبَهُ وَصِدْقَهُ وَأَمَانَتَهُ وَعِفَّتَهُ…»
“Wahai Raja, dahulu kami adalah kaum di masa jahiliyyah: kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perbuatan keji, memutus silaturahmi, berbuat buruk kepada tetangga, dan yang kuat di antara kami menindas yang lemah. Kami berada dalam keadaan demikian hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari kalangan kami sendiri yang kami kenal nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan kehormatannya…”
Ucapan ini merangkum lima kerusakan besar:
- Akidah rusak → “na‘budul ashnām” (menyembah berhala).
- Pola makan dan harta yang haram → “na’kulul maitah” (memakan bangkai).
- Moral hancur → “na’tī al-fawāhisy” (melakukan kekejian, zina, dsb.).
- Sosial kacau → “naqtha‘ul arhām wa nusī’ul jiwar” (memutus silaturahmi, buruk kepada tetangga).
-
Hukum rimba → “ya’kulul qadīr minnā adh-dha‘īf” (yang kuat menindas yang lemah).
2. Kedudukan Perempuan dan Fenomena Penguburan Bayi
Salah satu wajah paling gelap Jahiliyyah adalah perlakuan zalim terhadap perempuan.
2.1. Wanita Sebagai Barang Warisan
Di sebagian kabilah:
- Jika seorang laki-laki meninggal, istrinya bisa “diwarisi” oleh anak laki-laki atau keluarganya.
- Perempuan jarang memiliki hak yang jelas dalam masalah harta dan keputusan keluarga.
2.2. Penguburan Bayi Perempuan
Sebagian suku melakukan penguburan bayi perempuan hidup-hidup (wa’d al-banāt). Motifnya:
- Takut miskin dan tidak mampu menafkahi.
- Takut “malu” atau merasa anak perempuan hanya beban.
Al-Qur’an menggambarkan dahsyatnya kezaliman ini:
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
karena dosa apakah ia dibunuh?”
(QS. At-Takwīr: 8–9)
Juga firman-Nya:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (muram) dan dia sangat marah.”
(QS. An-Nahl: 58)
Kajian-kajian modern memang mendiskusikan apakah praktik ini sangat meluas atau hanya terjadi pada sebagian suku, namun Al-Qur’an jelas menjadikannya sebagai simbol kezaliman Jahiliyyah yang ingin dihapus Islam.
3. Fanatisme Suku dan Hukum Rimba
Masyarakat Arab pra-Islam hidup dalam:
- Fanatisme kesukuan (ashabiyah): membela suku meski salah.
- Perang panjang antar kabilah karena masalah sepele.
-
Tidak adanya otoritas hukum pusat yang adil.
Ucapan Ja‘far: “ya’kulul qadīr minnā adh-dha‘īf” – yang kuat memakan (menindas) yang lemah – menggambarkan situasi di mana:
- Hak orang lemah sering diabaikan.
-
Tidak ada kepastian hukum selain kekuatan pedang.
Islam datang dengan syariat yang:
- Melarang ashabiyah buta (fanatisme kesukuan).
- Menetapkan qishash dan hudud dengan standar yang sama untuk semua.
-
Menjunjung tinggi keadilan, bahkan terhadap musuh.
4. Khamar, Zina, dan Fakhsyah Menjadi Kebiasaan
Di masa Jahiliyyah:
- Khamar (minuman memabukkan) dikonsumsi luas dan dianggap bagian dari pergaulan.
- Zina dan perbuatan keji lainnya terjadi, walaupun tingkat rasa malu berbeda-beda di tiap kabilah.
Islam datang:
- Mengharamkan khamar secara bertahap hingga larangan total.
- Menutup pintu-pintu zina (menundukkan pandangan, menutup aurat, menjaga pergaulan).
- Menetapkan hukuman bagi zina sebagai pelajaran dan pembersih masyarakat.
5. Masih Ada Sisa Kebaikan di Tengah Jahiliyyah
Walaupun Jahiliyyah sangat gelap, fitrah manusia tetap menyisakan kebaikan:
-
Ada individu yang berpaling dari berhala, disebut hunafā’, seperti Zaid bin ‘Amr bin Nufail dan Waraqah bin Nawfal.
-
Di kalangan Arab masih dikenal:
-
Menepati janji,
- Memuliakan tamu,
- Keberanian,
-
Kedermawanan.
-
- Islam tidak menghapus semua budaya Arab, namun:
- Menghapus yang batil,
- Menyucikan dan mengarahkan sifat-sifat baik tersebut ke jalan Allah.
6. Cahaya Pertama: Diutusnya Rasul di Tengah Kegelapan
Ja‘far melanjutkan ucapannya di hadapan Najāsyī:
حَتَّى بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْنَا رَسُولًا مِنَّا نَعْرِفُ نَسَبَهُ وَصِدْقَهُ وَأَمَانَتَهُ وَعِفَّتَهُ…
“…hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari kalangan kami sendiri, yang kami kenal nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan kehormatannya…”
Beberapa poin penting:
-
Nabi ﷺ diutus dari kalangan mereka sendiri, sehingga:
-
Mereka mengenal akhlaknya sejak lama,
-
Tidak bisa menuduh beliau asing atau tidak paham adat.
-
-
Rasul yang diutus punya empat ciri utama dalam ucapan Ja‘far:
-
Nasab mulia,
- Jujur,
- Amanah,
-
‘Iffah (menjaga kehormatan).
-
Inilah awal perubahan: dari masyarakat yang menyembah berhala dan hidup semaunya, menjadi umat yang dibimbing wahyu.
Penutup
Beberapa faedah yang bisa kita ambil dari potret Jahiliyyah:
-
Rusaknya akidah akan menyeret rusaknya akhlak dan sosial.
Syirik di Jazirah Arab berjalan beriringan dengan zina, khamar, riba, dan penindasan. -
Islam datang sebagai rahmat yang menyeluruh.
Bukan sekadar merubah ritual ibadah, tetapi:-
Cara makan dan minum,
- Cara memperlakukan perempuan,
- Cara bermuamalah,
-
Cara menegakkan keadilan.
-
-
Tidak semua tradisi jahiliyyah harus dibuang; yang baik diarahkan, yang batil dihancurkan.
Keberanian dan kedermawanan tetap dijaga, tetapi ditujukan untuk mencari ridha Allah. -
Kegelapan sedalam apa pun bisa Allah ubah dengan cahaya wahyu.
Ini memberi harapan bagi siapa saja yang hidup di lingkungan rusak: perubahan tetap mungkin, jika kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.




