Berlindung dari Hilangnya Nikmat — Doa dan Pelajaran dari Hadis Nabi ﷺ

0
32

Doa Nabi ﷺ untuk Berlindung dari Hilangnya Nikmat

Dari sahabat Ibnu Umar radhiyallāhu ‘anhumā, diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ senantiasa berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

Allaahumma inni a‘ūdzu bika min zawāli ni‘matika wa taḥawwuli ‘āfiyatika wa fujaa-ati niqmatika wa jami‘i sakhaṭika

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari seluruh kemurkaan-Mu.”
(HR. Muslim no. 2739)

Doa ini mengajarkan kepada kita pentingnya memelihara nikmat Allah dengan rasa syukur dan ketaatan, karena setiap nikmat bisa hilang sewaktu-waktu bila manusia lalai dan durhaka.


Makna dan Hikmah dari Doa Ini

Syaikh Shalih Al-Fauzan حفظه الله menjelaskan bahwa Allah mampu mencabut nikmat dari seorang hamba karena dosa dan maksiat yang ia lakukan.
Nikmat tidak akan hilang kecuali sebab perbuatan manusia sendiri.

Allah ﷻ berfirman:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
(QS. إبراهيم [Ibrāhīm]: 7)

Ayat ini menjadi dasar bahwa syukur adalah kunci bertambahnya nikmat, sedangkan kufur (ingkar) menjadi sebab hilangnya nikmat dan datangnya azab.


Hilangnya Nikmat Karena Perbuatan Manusia

Allah juga berfirman:

ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. الأنفال [Al-Anfāl]: 53)

Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak mencabut nikmat kecuali karena dosa dan kelalaian manusia itu sendiri. Ketika seorang hamba bersyukur, nikmatnya akan tetap ada bahkan bertambah; tetapi bila ia kufur, maka nikmat itu akan berubah menjadi kesempitan, ketakutan, atau kelaparan.

Allah ﷻ berfirman lagi:

وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ ءَامِنَةً مُّطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ ٱللَّهِ فَأَذَٰقَهَا ٱللَّهُ لِبَاسَ ٱلْجُوعِ وَٱلْخَوْفِ بِمَا كَانُوا۟ يَصْنَعُونَ

“Dan Allah telah membuat perumpamaan tentang sebuah negeri yang dahulunya aman dan tenteram, rezekinya datang melimpah dari segala tempat. Namun, penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah; maka Allah menimpakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan akibat perbuatan mereka sendiri.”
(QS. النحل [An-Naḥl]: 112)


Syukur Adalah Penjaga Nikmat

Maka, ketika Allah ﷻ memberikan nikmat kepada seorang hamba — berupa harta, kesehatan, waktu luang, umur panjang, ilmu, atau kecerdasan — hendaknya nikmat itu digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk bermaksiat.

Seorang yang tidak bersyukur justru akan kehilangan nikmatnya atau hidup dalam kegelisahan, rasa takut, dan kekhawatiran kehilangan nikmat tersebut.
Ini semua adalah bentuk hukuman batin yang halus, yang menjauhkan seorang hamba dari ketenangan iman.

Sebaliknya, rasa syukur yang tulus akan menjaga dan menambah nikmat. Allah tidak akan mencabut nikmat dari hamba yang terus mengingat-Nya dan menggunakan karunia-Nya untuk taat kepada-Nya.


Pelajaran Penting

  1. Nikmat Allah tidak hilang tanpa sebab. Dosa dan kelalaian adalah penyebab utama.

  2. Syukur adalah penjaga nikmat. Semakin kita bersyukur, semakin Allah tambahkan nikmat-Nya.

  3. Doa Nabi ﷺ ini hendaknya sering dibaca, terutama saat kita berada dalam kelapangan rezeki dan kesehatan, agar hati tetap sadar bahwa semua datang dari Allah.

  4. Jadikan nikmat sebagai sarana ibadah, bukan alat kelalaian.


Referensi:

  1. Ithāful Kirām bi Syarḥi Kitābil Jāmi‘, cet. Dār Al-Mājid, hal. 304.

  2. Al-Qur’an: QS. Ibrāhīm: 7, QS. Al-Anfāl: 53, QS. An-Naḥl: 112.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Mohon masukkan nama anda di sini