Hukum Mengusap Wajah dengan Kedua Tangan Setelah Berdoa

0
2

Hadis tentang Mengusap Wajah Setelah Berdoa

Diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khaththab radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Rasulullah ﷺ apabila mengangkat kedua tangannya dalam berdoa, beliau tidak menurunkannya hingga mengusap wajahnya dengan keduanya.”

(HR. At-Tirmidzi, no. 3386)

Imam At-Tirmidzi menyebutkan setelah meriwayatkan hadis ini:

هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ

“Hadis ini tergolong gharib (unik dalam sanadnya).”

Sanad hadis ini memang memiliki kelemahan, namun para ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya karena adanya beberapa syawāhid (penguat dari riwayat lain).


Penjelasan Derajat Hadis

Syaikh Shalih Al-Fauzan حفظه الله menjelaskan dalam Ithāful Kirām bi Syarḥi Kitāb al-Jāmi‘ fil Akhlāq wal Ādāb:

الحديث فيه ضعف في سنده، ولكن له شواهد من طرق أخرى يرتقي بها إلى درجة الحسن لغيره، كما قال الحافظ ابن حجر

“Hadis ini memiliki kelemahan dalam sanadnya, namun ia memiliki penguat dari jalur lain yang menjadikannya naik derajat menjadi hasan lighairihi, sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.”

(Ithāful Kirām bi Syarḥi Kitāb al-Jāmi‘, Dār Al-Mājid, hal. 292)

Keterangan ilmiah:
Hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Abu Dawud (no. 1485) dan Ibnu Majah (no. 3866), namun seluruh jalurnya tidak lepas dari perawi yang diperselisihkan seperti Hammād bin ‘Īsā dan As-Sunābihī.
Namun, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Bulughul Maram dan Nataijul Afkar menilai hadis ini “hasan lighairihi” karena dikuatkan oleh beberapa riwayat serupa.


Pandangan Syaikh Shalih Al-Fauzan

Syaikh Shalih Al-Fauzan menegaskan sikap pertengahan dalam masalah ini:

وَاللهُ أَعْلَمُ، أَنَّ الْمَسْأَلَةَ وَاسِعَةٌ، فَلَا يُنْكَرُ عَلَى مَنْ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ، وَلَا عَلَى مَنْ لَمْ يَمْسَحْ

“Wallāhu a‘lam, sesungguhnya masalah ini termasuk perkara yang luas. Maka tidak boleh mengingkari orang yang mengusap wajahnya setelah berdoa, dan tidak pula mengingkari orang yang tidak melakukannya.”

(Ithāful Kirām, hal. 292)

Kesimpulan pandangan beliau:

  • Mengusap wajah setelah berdoa bukan bid‘ah, karena memiliki dasar dari hadis yang hasan lighairihi.

  • Namun juga tidak wajib atau sunnah muakkadah, karena tidak ada dalil yang sahih dan kuat secara mutlak.

  • Maka, siapa yang melakukannya tidak tercela, dan siapa yang meninggalkannya juga tidak berdosa.


Pendapat Ulama Lain

  1. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata:

    “Terdapat banyak riwayat dalam masalah ini yang saling menguatkan, sehingga hadis mengusap wajah setelah doa dapat dinilai hasan lighairihi.”
    (Nataijul Afkar, 2/311)

  2. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ tidak menegaskan sunnahnya, tetapi menyebutkan bahwa perbuatan itu tidak mengapa dilakukan, karena tidak bertentangan dengan syariat.

  3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata bahwa mengusap wajah tidak memiliki dalil sahih, namun boleh dilakukan secara umum dalam adab doa.


Kesimpulan Fiqih

Aspek Penjelasan
Hukum Boleh dilakukan, namun tidak wajib atau sunnah muakkadah
Derajat hadis Hasan lighairihi (diperkuat oleh syawahid)
Pandangan ulama Tidak mengingkari yang melakukan maupun yang meninggalkan
Amalan praktis Mengangkat tangan dalam doa disunnahkan; mengusap wajah setelahnya diperbolehkan

Pelajaran dari Hadis Ini

  1. Mengangkat tangan dalam doa adalah sunnah yang sahih dan banyak riwayatnya.

  2. Mengusap wajah setelah doa termasuk perkara ikhtilaf yang tidak boleh dijadikan bahan perdebatan.

  3. Islam melarang fanatisme terhadap pendapat dalam masalah cabang seperti ini.

  4. Yang terpenting dalam doa adalah kekhusyukan dan keikhlasan, bukan gerakan tambahan semata.


Referensi Lengkap:

  1. Ithāful Kirām bi Syarḥi Kitāb al-Jāmi‘ fil Akhlāq wal Ādāb — Syaikh Shalih Al-Fauzan, Dār Al-Mājid, hal. 292.

  2. Sunan At-Tirmidzi, no. 3386.

  3. Sunan Abu Dawud, no. 1485.

  4. Sunan Ibnu Majah, no. 3866.

  5. Nataijul Afkar, 2/311 — Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.

  6. Al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab, 3/498 — Imam An-Nawawi.

  7. Majmu’ Al-Fatawa, 22/519 — Ibnu Taimiyyah.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Mohon masukkan nama anda di sini