Salah satu pembahasan penting dalam fiqih wanita adalah hukum membaca Al-Qur’an bagi wanita yang sedang haidh.
Masalah ini telah dibahas oleh para ulama sejak masa salaf, dan mereka berselisih pendapat mengenai hukumnya — antara yang melarang dan yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu.
Hadis Dasar Larangan
Sebagian besar ulama yang melarang wanita haidh membaca Al-Qur’an berdalil dengan hadis berikut:
لَا تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
“Janganlah wanita haidh dan orang junub membaca sesuatu pun dari Al-Qur’an.”
(HR. At-Tirmidzi no. 131)
Imam At-Tirmidzi menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallāhu ‘anhumā, namun sanadnya diperselisihkan oleh para ahli hadis — sebagian menilai dha‘if, tetapi jumhur fuqaha tetap menjadikannya dasar hukum larangan.
⚖️ Pendapat Para Ulama Mazhab
1. Mazhab Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah melarang wanita haidh membaca Al-Qur’an, baik satu ayat penuh maupun sebagian ayat.
يَحْرُمُ عَلَى الْحَائِضِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَلَوْ بَعْضَ آيَةٍ مِنْهُ حَتَّى تَطْهُرَ وَتَغْتَسِلَ
“Diharamkan bagi wanita haidh membaca Al-Qur’an, meskipun hanya sebagian ayat, sampai ia suci dan mandi.”
(Fiqhu Aḥkām al-Ḥaiḍ wan-Nifās fī al-Maḏāhib al-Arba‘ah, Dār al-Qalam, hal. 119)
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah, dan diikuti oleh ulama seperti As-Sarakhsi dan Ibn ‘Ābidīn.
2. Mazhab Malikiyyah
Sebagian ulama Malikiyyah membolehkan wanita haidh membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, terutama bagi penghafal Al-Qur’an (ḥāfiẓah) agar tidak lupa hafalannya.
Imam An-Nafrāwī al-Mālikī menjelaskan:
لَا يُكْرَهُ لِلْحَائِضِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ إِنْ خَافَتْ نِسْيَانَهُ، وَإِلَّا كُرِهَتْ
“Tidak dimakruhkan bagi wanita haidh membaca Al-Qur’an jika ia khawatir lupa hafalannya. Namun jika tidak khawatir, maka hukumnya makruh.”
(Al-Fawākih ad-Dawānī, 1/127)
3. Mazhab Syafi‘iyyah
Ulama mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa wanita haidh dan orang junub tidak boleh membaca Al-Qur’an, baik satu ayat penuh maupun sebagian.
Imam An-Nawawi رحمه الله berkata:
يَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ قَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ
“Haram bagi orang junub, wanita haidh, dan nifas membaca Al-Qur’an, baik sedikit maupun banyak.”
(Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab, 2/160)
Dalil yang digunakan adalah qiyas (analogi) terhadap orang junub yang wajib mandi sebelum membaca Al-Qur’an.
4. Mazhab Hanabilah
Mazhab Hanbali juga berpendapat sama seperti Syafi‘iyyah, bahwa wanita haidh tidak boleh membaca Al-Qur’an sebelum mandi besar.
Imam Ibnu Qudāmah berkata:
وَلا يَجُوزُ لِلْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ كَمَا لَا يَجُوزُ لِلْجُنُبِ
“Tidak boleh bagi wanita haidh dan nifas membaca Al-Qur’an, sebagaimana halnya orang junub.”
(Al-Mughnī, 1/198)
Pendapat yang Membolehkan (Ulama Minoritas)
Sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Hazm, dan beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa tidak ada dalil sahih yang melarang secara tegas wanita haidh membaca Al-Qur’an, sehingga hukumnya boleh, terutama jika:
-
Bertujuan mengingat hafalan (murāja‘ah),
-
Tidak menyentuh mushaf langsung (menggunakan sarung tangan atau media digital).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata:
لَيْسَ فِي الْكِتَابِ وَلَا السُّنَّةِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْحَائِضَ لَا تَقْرَأُ الْقُرْآنَ
“Tidak ada satu pun dalil dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang menunjukkan bahwa wanita haidh dilarang membaca Al-Qur’an.”
(Majmū‘ al-Fatāwā, 21/460)
Kesimpulan Fiqih
| Mazhab | Hukum Membaca Al-Qur’an Saat Haidh | Catatan Penting |
|---|---|---|
| Hanafi | Haram | Tidak boleh membaca walau sebagian ayat hingga suci |
| Maliki | Boleh dengan syarat | Jika khawatir lupa hafalan |
| Syafi‘i | Haram | Disamakan dengan hukum orang junub |
| Hanbali | Haram | Tidak boleh membaca sampai mandi besar |
| Pendapat Ibnu Taimiyyah & Ulama Kontemporer | Boleh | Selama tidak menyentuh mushaf langsung |
Kesimpulan umum:
Mayoritas ulama (jumhūr) berpendapat tidak boleh wanita haidh membaca Al-Qur’an hingga suci dan mandi.
Namun, sebagian ulama membolehkan untuk hafalan dan dzikir, tanpa menyentuh mushaf secara langsung.
Referensi Lengkap:
-
Fiqhu Aḥkām al-Ḥaiḍ wan-Nifās fī al-Maḏāhib al-Arba‘ah, cet. Dār al-Qalam, hal. 119.
-
Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab, Imam An-Nawawi, 2/160.
-
Al-Mughnī, Ibnu Qudāmah, 1/198.
-
Al-Fawākih ad-Dawānī, An-Nafrāwī al-Mālikī, 1/127.
-
Majmū‘ al-Fatāwā, Ibnu Taimiyyah, 21/460.
-
Sunan At-Tirmidzi, no. 131.




